Selasa, 05 Juni 2012

International Financial Reporting Standards

dalam era globalisasi menuntut setiap informasi yang cepat tepat dan akurat, dengan kmajuan teknoligi pula, dunia terasa tidak ada batasan, manusia dari belahan dunia manapun bisa dengan mudah menjangkau informasi dari nergara lain dengan menggunakan teknologi informasi. dalam akuntansi, juga demikian, dengan demikian menuntut suatu standar untuk meyeragamkan laporan atau informasi yang berhubungan dengan akuntansi. International Financial Reporting Standards atau yang disebut IFRS bisa menjadi salah satu alat untuk bisa membuat informasi dalam akuntansi bisa dimengerti oleh pengguna, meskipun berbeda negara ataupun bahasa. berikut adalah perkembangan konvergensi IFRS:

Konvergensi IFRS Indonesia
Perkembangan Standar Akuntansi di Indonesia
1. Tahun 1973 – 1984: Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) membentuk komite untuk menetapkan standar-standar akuntansi, yang kemudian dikenal dengan Prinsip-Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).
2. Tahun 1984 – 1994: komite PAI melakukan revisi mendasar PAI 1973 dan kemudian menerbitkan Prinsip Akuntansi Indonesia PAI 1994. Menjelang akhir tahun 1994 Komite Standar Akuntansi memulai suatu revisi besar atas prinsip – prinsip akuntansi Indonesia dengan mengumumkan pernyataan – pernyataan standar akutansi tambahan dan menerbitkan interpretasi atas standar tersebut. Revisi ini menghasilkan 35 peryataan standar akuntansi keuangan, yang sebagian besar adalah hasil harmonisasi dengan IAS yang dikeluarkan oleh IASB.
3. Tahun 1994 – 2004: perubahan patokan standar keuangan dari US GAAP ke IFRS. Hal ini telah menjadi kebijakan Komite Standar Akuntansi Keuangan untuk menggunakan International Accounting Standards sebagai dasar membangun standar keuangan Indonesia. Pada tahun 1995, IAI melakukan revisi besar untuk menerapkan standar – standar akuntansi baru, IAS mendominasi isi dari standar ini selain US GAAP dan dibuat sendiri.
4. Tahun 2006 – 2008: dilakukan konvergensi IFRS tahap 1. Sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2010, Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terus direvisi secara berkesinambungan, proses revisi ini dilakukan sebanyak enam kali, yakni 1 Oktober 1995, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, 1 Juni 2006, 1 September 2007 dan 1 Juli 2009. Sampai dengan 2008 jumlah IFRS yang diadopsi baru 10 standar.
Di Indoesia PSAK akan dikonvergensi secara penuh ke dalam IFRS melalui tiga tahapan, yaitu tahap adopsi, tahap persiapan akhir, dan tahap implementasi. Berikut adalah gambaran ketiga tahap tersebut.
Tahap adopsi dilakukan pada periode 2008-2011 meliputi aktivitas adopsi seluruh IFRS ke PSAK, persiapan infrastruktur, evaluasi terhadap PSAK yang berlaku. Pada 2009 proses adopsi IFRS/ IAS mencakup :
  1. IFRS 2 Share-based payment
  2. IFRS 3 Business combination
  3. IFRS 4 Insurance contracts
  4. IFRS 5 Non-current assets held for sale and discontinued operations
  5. IFRS 6 Exploration for and evaluation of mineral resources
  6. IFRS 7 Financial instruments: disclosures
  7. IFRS 8 Segment reporting
  8. IAS 1 Presentation of financial statements
  9. IAS 8 Accounting policies, changes in accounting estimates
  10. IAS 12 Income taxes
  11. IAS 21 The effects of changes in foreign exchange rates
  12. IAS 26 Accounting and reporting by retirement benefit plans
  13. IAS 27 Consolidated and separate financial statements
  14. IAS 28 Investments in associates
  15. IAS 31 Interests in joint ventures
  16. IAS 36 Impairment of assets
  17. IAS 37 Provisions, contingent liabilities and contingent assets
  18. IAS 38 Intangible assets
Pada 2010 adopsi IFRS/ IAS mencakup :
  1. IFRS 7 Statement of Cash Flows
  2. IFRS20 Accounting for Government Grants and Disclosure of Government Assistance
  3. IFRS24 Related Party Disclosures
  4. IFRS29 Financial Reporting in Hyperinflationary Economies
  5. IFRS33 Earnings per Share
  6. IFRS34 Interim Financial Reporting
  7. IFRS41 Agriculture
Sedangkan arah pengembangan konvergensi IFRS meliputi :
  1. PSAK yang sama dengan IFRS akan direvisi, atau akan diterbitkan PSAK yang baru
  2. PSAK yang tidak diatur dalam IFRS, maka akan dikembangkan
  3. PSAK industri khusus akan dihapuskan
  4. PSAK turunan dari UU tetap dipertahankan
Manfaat Konvergensi
Manfaat Konvergensi IFRS secara umum adalah:
  1. Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional (enhance comparability).
  2. Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi.
  3. Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global.
  4. Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
  5. Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan antara lain, mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management
dan, Manfaat dari konvergensi IFRS adalah :

Manfaat Penggunaan Standar International
Penggunaan standar akuntansi internasional dalam pelaporan keuangan memiliki beberapa manfaat. Pertama, penggunaan standar akuntansi keuangan dapat meningkatkan keakuratan dalam menilai performa perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan. Asbaugh dan Pincus (2001) menyatakan bahwa keakuratan analisis yang dilakukan oleh analis keuangan meningkat setelah perusahaan mengadopsi/menggunakan standard akuntansi internasional (IFRS). Menurut  Asbaugh dan Pincus (2001) meningkatnya keakuratan analisis dari para analis keuangan disebabkan karena standar akuntansi internasional mensyaratkan  pengungkapan kondisi keuangan yang lebih rinci daripada standar akuntansi lokal.
Manfaat kedua dari penggunaan standar akuntansi internasional adalah dimungkinkannya perbandingan antar perusahaan yang berdomisili pada dua tempat yang berbeda (contoh: membandingkan perusahaan yang beroperasi di Indonesia dan yang beroperasi di Australia). Hal ini dimungkinkan karena kesamaan aturan dan prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan sehingga memudahkan dilakukan perbandingan informasi-informasi keuangan diantara perusahaan-perusahaan yang bersangkutan.
Dengan semakin banyaknya informasi keuangan yang diungkapkan dalam laporan keuangan dan adanya komparabilitas antara laporan keuangan perusahan satu dengan perusahaan lainnya dapat menyebabkan turunnya biaya modal yang dikeluarkan oleh perusahaan/investor (Li, 2008).
Dapat disimpulkan bahwa konvergensi PSAK dengan IFRSs dapat membawa manfaat bagi iklimhttp://irdam.blogs.unhas.ac.id/2012/03/penerapan-ifrs-di-indonesia-manfaat-dan-kendala/ investasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kemudahaan para investor untuk membandingkan informasi-informasi keuangan dari perusahaan di Indonesia dengan perusahaan di negara lain. Lebih lanjut lagi analisis-analisis yang dilakukan oleh para pakar keuangan terhadap informasi keuangan perusahaan Indonesia dapat lebih akurat sehingga dapat mengurangi keraguan investor akan kekeliruan pengambilan keputusan berdasarkan hasil analisis yang dilakukan para analis.

Namun, dibalik dari manfaat diatas, terdapat kendala-kendala dalam penerapan konvergensi IFRS, berikut adalah hambatannya :

Kendala Penerapan IFRSs di Indonesia
Meskipun penerapan IFRSs dapat memberikan manfaat bagi iklim investasi di Indonesia. Akan tetapi terdapat beberapa kendala yang dapat menghalangi/mempengaruhi penerapan IFRS di Indonesia. Menurut Perera dan Baydoun (2007) ada 4 aspek yang dapat menjadi kendala penerapan IFRS di Indonesia. Lima Aspek Tersebut adalah (1) aspek lingkungan sosial; (2) aspek lingkungan organisasi; (3) Aspek lingkungan Profesi; dan (4) Aspek lingkungan individu.
  1. Aspek Lingkungan Sosial
Indonesia sebagai negara yang memiliki nilai budaya yang berbeda dengan nilai budaya asal IFRSs dapat mempengaruhi proses pelaksanaan penerapan IFRSs di Indonesia. IFRSs yang dikembangkan di negara Anglo-Saxon yang cenderung memiliki nilai budaya indivilualisme yang tinggi dan jarak kekuasaan (power distance) yang rendah dapat terkendala penerapannya di Indonesia yang memiliki nilai budaya berkelompok yang tinggi dan jarak kekuasaan yang juga tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat profesionalisme akuntan. Selain itu penegakan aturan (i.e. penerapan IFRS bagi perusahaan-perusaahn di Indonesia) juga diragukan. ini dikarenakan nilai budaya rakyat Indonesia yang cenderung melihat seseorang dengan pangkat lebih tinggi juga memiliki kekuasaan yang lebih tinggi sehingga dapat menjadi sumber penyelewengan.
  1. Aspek Lingkungan organisasi
Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya mendanai kegiatan usaha mereka dengan menggunakan pinjaman dari bank. Pendanaan perusahaan melalui pasar modal saat ini masih cenderung minim.  Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa hanya 442 perusahaan yang terdaftar di BEI sedangkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2009 mengestimasi perusahaan di Indonesia sebanyak 25.077 perusahaan. Keadaan ini dapat menjadi kendala untuk penerapan IFRSs karena kecenderungan pembiayaan perusahaan masih kepada sektor perbankan. Bank normalnya dapat memiliki akses langsung ke informasi keuangan perusahaan sebagai penyedia dana utama. Hal ini mengakibatkan perusahaan belum merasa butuh untuk menerapkan standar keuangan internasional yang telah terkonvergensi dalam PSAK. Dapat diasumsikan bahwa perusahaan menganggap manfaat dari penggunaan IFRS lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan untuk mengadopsi standar tersebut.
Aspek Lingkungan Profesi
Penerapan IFRS di Indonesia seharusnya dibarengi dengan penataan dan penyediaan sumber daya manusia sebagi motor pelaksanaan standard tersebut. Profesi akuntan di Indonesia memiliki 4 kategori keanggotaan :
  1. Register A: anggota dengan gelar akuntan yang juga telah berpraktek selama beberapa tahun atau menjalankan usaha praktek akuntansi pribadi atau kepala dari kantor akuntansi pemerintah;
  2. Register B: akuntan public asing yang telah diterima oleh pemerintah Indonesia dan telah berpraktek untuk beberapa tahun;
  3. Register C: akuntan internal asing yang bekerja di Indonesia;
  4. Register D: akuntan yang baru lulus dari fakultas ekonomi jurusan akuntansi atau memegang sertifikat yang telah dievaluasi oleh komite ahli dan dipertimbangkan setara dengan gelar akuntansi dari universitas negeri. (Yunus, 1990 dalam Perera dan Baydoun, 2007, p.213)
Kebanyakan dari akuntan yang ada di Indonesia adalah akuntan dengan kategori D, sehingga sumber daya manusia untuk melaksanakan standard akuntansi secara memadai masih kurang.
  1. Aspek Lingkungan Individu
Nilai budaya masyarakat Indonesia yang kental dengan kolektivisme dan cenderung memiliki jarak kekuasaan yang tinggi dapat berpengaruh terhadap lemahnya pengembangan dan penerapan IFRSs di Indonesia. Para professional dikuatirkan bersikap pasif terhadap draft-draft eksposur karena menganggap tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan standard (sebagai efek dari tingginya jarak kekuasaan).
  Kendala dalam harmonisasi PSAK ke dalam IFRS

Dalam melakukan konvergensi IFRS, tidak selamanya berjalan mudah, tapi juga ada kendala-kendala yang dihadapi, diantaranya:
  1. Dewan Standar Akuntansi yang kekurangan sumber daya
  2. IFRS berganti terlalu cepat sehingga ketika proses adopsi suatu standar IFRS masih dilakukan, pihak IASB sudah dalam proses mengganti IFRS tersebut.
  3. Kendala bahasa, karena setiap standar IFRS harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan acapkali ini tidaklah mudah.
  4. Infrastuktur profesi akuntan yang belum siap. Untuk mengadopsi IFRS banyak metode akuntansi yang baru yang harus dipelajari lagi oleh para akuntan.
  5. Kesiapan perguruan tinggi dan akuntan pendidik untuk berganti kiblat ke IFRS.
  6. Support pemerintah terhadap issue konvergensi.

Sumber
http://lailly0490.blogspot.com/2012/03/kendala-dalam-harmonisasi-psak-ke-dalam.html

 

 



 

Senin, 30 April 2012

Konvergensi IFRS Memberatkan Perusahaan Asuransi?


Exposure Draft standar akuntansi baru adalah:
ED PSAK 62: Kontrak Asuransi
ED PSAK 28 (Revisi 2010): Akuntansi Asuransi Kerugian
ED PSAK 36 (revisi 2010): Akuntansi Asuransi Jiwa
ED PSAK 56: Laba per Saham
ED PPSAK 10: Pencabutan PSAK 51 Akuntansi Kuasi-Reorganisasi


Rangkaian public hearing ini merupakan proses konvergensi IFRS yang dilakukan oleh IAI dan ditargetkan selesai pada tahun 2012. ED PSAK 62 mengadopsi standar akuntansi internasional IFRS 4 yang bersifat prinsip atau principle based. Dengan mengadopsi IFRS 4 maka standar akuntansi Indonesia yang mengatur perusahaan asuransi yakni PSAK 28 dan PSAK 36 direvisi agar tidak bertentangan dengan IFRS 4. Revisi untuk PSAK 28 dan PSAK 36 banyak menghapus paragraf-paragraf yang bersifat rule based serupa dengan aturan-aturang yang kaku.
Ludovicus Sensi, anggota DSAK-IAI yang memberikan pemaparan standar akuntansi asuransi mendapatkan banyak komentar mengenai kesiapan industri asuransi dan profesi aktuaris dalam menerapkan standar-standar baru ini pada tahun 2012. “Waktunya sangat sempit apabila diberlakukan pada tahun 2012. Dan apakah para pelaku dan profesi aktuaris siap karena standar ini banyak menuntut penggunaan professional judgement” demikian komentar salah satu peserta public hearing dari perusahaan asuransi yang cukup besar di Indonesia.
“IFRS 4 ini sedang diubah di dewan standar akuntansi internasional. Kita memang pernah bimbang apakah kita mengadopsi IFRS 4 yang saat ini berlaku atau tunggu sampai revisi IFRS 4 nanti dikeluarkan. Namun apabila kita menunggu lebih lama, kesenjangan antara standar akuntansi lokal dan standar akuntansi internasional akan semakin lebar. Sehingga Dewan memutuskan untuk tidak menunda adopsi IFRS 4” Ludovicus Sensi memberikan penjelasan. Ludovicus Sensi juga menambahkan bahwa diskusi mengenai perubahan standar akuntansi ini sudah pernah didiskusikan oleh pihak regulator Bapepam LK dan juga oleh asosiasi industri asuransi selama beberapa bulan terakhir.
Lebih lanjut Rosita Uli Sinaga, Ketua DSAK-IAI juga menambahkan bahwa konvergensi IFRS ini sudah terlebih dahulu memberikan dampak besar terhadap industri perbankan tahun lalu dengan memberlakukan PSAK 50 dan PSAK 55 mengenai instrumen keuangan. “kita semua memahami bagaimana beratnya industri perbankan dalam menerapkan PSAK 50 dan PSAK 55. Kalau Industri asuransi tidak mengadopsi IFRS maka akan terbelakang dibandingkan dengan industri keuangan lainnya di Indonesia. Tentunya kita tidak ingin hal ini terjadi” komentar Rosita.
Rencana DSAK untuk mencabut PSAK 51 Akuntansi Kuasi-Reorganisasi juga menuai keberatan. Dudi Kurniawan, praktisi akuntan publik menyatakan bahwa PSAK 51 masih dibutuhkan di Indonesia dan bermanfaat untuk perusahaan yang membutuhkan “fresh-start” accounting setelah rugi akibat krisis moneter beberapa waktu lalu. “Apabila memang tidak bertentangan dengan IFRS sebaiknya PSAK 51 tetap dipertahankan.”
DSAK memutuskan untuk menghapus PSAK 51 karena standar ini merupakan adopsi dari standar akuntansi amerika serikat dan tidak ada standar akuntansi tentang kuasi reorganisasi dalam IFRS.
“Indonesia sudah menjadi sorotan dunia karena target konvergensi IFRS sudah pernah mundur dari target sebelumnya tahun 2008. DSAK harus banyak mengambil keputusan yang sulit seperti misalnya pencabutan PSAK 51 ini. Oleh sebab itulah kami meminta masukan masyarakat dalam kegiatan public hearing ini. Mohon masukan maupun keberatan dapat dikirim ke DSAK agar membantu kami dalam mengambil keputusan” pungkas Rosita Uli Sinaga.
Sumber :
http://www.iaiglobal.or.id/berita/detail.php?catid=&id=209

Selasa, 27 Maret 2012

IFRS vs GAAP

Selamat datang kembali di Blog saya,

kini, saya akan membahas tentang IFRS dan perbandingannya dengan PSAK. dan kendala-kendalanya dalam penerapannya di Indonesia. Selain IFRS, kutub standar akuntansi yang berlaku di dunia saat ini adalah United States General Accepted Accounting Principles (US GAAP). sebelum Indonesia menerapkan IFRS, Indonesia masih mengacu pada prinsip GAAP dari Amerika, namun, setelah mengenal IFRS, sepertinya Indonesia condong ke IFRS karena, di dalam IFRS memuat standar akuntansi keuangan (SAK), standar akuntansi pemerintahan (SAP), standar akuntansi sektor publik (SASP) dan standar akuntansi Syariah (SAS), standar akuntansi syariah ini yang tidak dimiliki oleh GAAP, maka Indonesia beralih ke IFRS, ini juga memudahkan bagi perusahaan-perusahaan multinasional, agar membuat laporan konsolidasi lebih mudah, karena standarnya sudah seragam dengan negara lain. Menurut Sri Mulyani, konvergensi akuntansi Indonesia ke IFRS perlu didukung agar Indonesia mendapatkan pengakuan maksimal dari komunitas internasional yang sudah lama menganut standar ini.

berikut ini artikel yang saya kutip dari blog akuntanamatir.wordpress.com

 

Menuju Penerapan IFRS, antara Harmonisasi dan Konspirasi

1 08 2009
Kontribusi Dari Zoel Dirga Dinhi
Sabtu, 22 September 2007
Indonesia yang tadinya lebih condong ke standar akuntansi keluaran FASB, sejak tahun 1994 sudah mulai melakukan harmonisasi dan lebih mendekatkan diri ke IFRS. Sedianya apabila seluruh negara di dunia ini memakai IFRS, maka semua bisnis di dunia berbicara di dalam bahasa yang sama. Kelak tidak ada lagi kerepotan yang dialami oleh perusahaan multinasional untuk mengkonsolidasi laporan keuangan dari anakanak perusahaan di negara-negara berbeda. Kelak tidak ada lagi perusahaan yang repot jika harus listing di pasar modal negara lain karena harus menyesuaikan laporan keuangannya dengan standar akuntansi setempat.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dari IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) telah menetapkan tahun 2008 sebagai target antara dimana perbedaan-perbedaan mendasar antara PSAK dan IFRS sudah tidak ada lagi. Saat ini, DSAK sudah menyiapkan Exposure Draft (ED) dari 4 buah standar yang sudah disesuaikan dengan standar IFRS yang sesuai. Yang paling ditunggu-tunggu oleh para pengamat dan praktisi adalah ED dari PSAK 16 tentang aktiva tetap dan aktiva lainnya.
Di dalam IAS 16, standar internasional memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai revaluation model (ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan revalution model (fair value accounting) dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and Equipment) mulai tahun 2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun 2008). Hal ini adalah perubahan yang cukup besar karena selama ini revalution model belum dapat
diterapkan di Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah mengijinkan. Apa perbedaan historical cost yang selama ini sudah lebih dikenal oleh dengan revalution model? Revaluation model memperbolehkan PPE dicatat berdasarkan nilai wajarnya. Permasalahannya di Indonesia adalah sistem perpajakan yang tidak mendukung standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset ke atas dikenai pajak final sebesar 10% dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan yang bisa dibalik di tahun berikutnya
bila nilai aktiva turun. Bayangkan apabila perusahaan memutuskan memakai revalution model dan setiap tahun harga asetnya meningkat, maka setiap tahun harus membayar pajak final. Padahal kenaikan harga aset tersebut tidaklah membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan. Bila aturan perpajakan tidak mendukung, maka dapat dipastikan perusahaan akan enggan menerapkan revaluation model. Bukan hanya sistem pajaknya saja yang memberatkan, bila perusahaan memakai revaluation model, maka siap-siap untuk keluar uang lebih banyak untuk menyewa jasa penilai. Hal ini dikarenakan banyaknya aset tetap yang btidak memiliki nilai pasar sehingga ketergantungan kepada jasa penilai (assessor) akan besar untuk menilai aset-aset ini.
Ikatan Mahasiswa Akuntansi
http://www.ima-unhas.com Menggunakan Joomla! Generated: 11 June, 2009, 15:47
Jika ternyata nilai wajar yang ditetapkan penilai berbeda dengan nilai wajar yang di tetapkan auditor dari akuntan publik, biasanya nilai wajar dari auditor yang akan dipakai. Sistem pencatatan akuntansi juga sedikit lebih rumit daripada memakai historical cost. Ketika perusahaan pertama kali berubah dari historical cost model ke revalution model, maka akumulasi penyusutan di hapus dan beban penyusutan dihitung kembali berdasarkan nilai wajar yang baru. Demikian selanjutnya apabila revaluasi menerbitkan nilai baru, maka beban penyusutan dihitung kembali. Peraturan lain dari IAS 16 adalah bahwa penerapan nilai wajar tidak bisa diterapkan oleh aktiva secara individu tapi harus secara keseluruhan dalam golongan aktiva tersebut.
Akan tetapi, di balik penerapan IFRS ini, begitu pula harmonisasi antara FASB dengan IASB tercium sebuah analisis bahwa, konspirasi politik-ekonomi sedang digalakkan oleh pihak-pihak yang sedang
merumuskan standar yang mereka harapkan dapat berlaku secara global ini. Masih terasa panasnya kontroversi pengesahan Undang-Undang Penanaman Modal oleh pemerintah di negeri tercinta ini, yang ternyata semakin mempermudah penetrasi para penanam modal asing (baca: kapitalis) melakukan misi kotornya, salah satunya dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan milik negara tanpa kesulitan yang berarti. Apalagi ini didukung oleh keinginan besar pemerintah untuk semakin melanggengkan privatisasi aset-aset nasional.
Kemudian muncul lagi analisis yang mengerikan terkait dengan penerapan IFRS ini. Dengan semakin mudahnya para calon investor membaca pelaporan keuangan di setiap negara yang telah terstandardisasi, utamanya di negara dunia ketiga, selanjutnya di dukung oleh kemudahan proses administrasi oleh mereka, maka dengan dalih investasi selanjutnya dapat menjadi bom waktu yang siap meluluhlantahkan kekayaan milik rakyat Indonesia.
Komentar:
Dalam PSAK No 16 per September 2007, sebenarnya telah dimasukkan tentang pencatatan PPE berdasarkan revaluasi model akan tetapi prinsip ini belum sepenuhnya dikonvergensikan alias masih bersifat harmonisasi terhadap IAS No 16. Ketakutan terhadap timbulnya kerugian akibat tidak sejalanya antara UU pajak dan IAS No 16 memang patut di analisa. Asumsi bahwa revaluasi model akan mempengaruhi penilaian aset tetap dan lain-lain serta akurasi perhitungan penyusutannya harus benar-benar dikaji agar selisih materialitasnya tidak terlalu jauh dengan menggunakan hirostical cost (harga perolehan). Kemungkinan masalah akan timbul pada saat pencatatan nilai atas Property. Karena kecenderungan nilai Property yang terus meningkat, apabila dinilai dengan revaluasi model maka nilai aset tersbut akan mengikuti nilai wajarnya yang berarti jika nilai asetnya naik maka pencatatan dan perhitungan nilainya akan mengikuti kenaikan tersebut, sehingga akan sulit menentukan nilai penyusutan per periodenya. Hal ini justru berbanding terbailik dengan historical cost (harga perolehan). Dimana nilainya akan selalu konstan yang akan memberikan kaurasi lebih terhadap penilaian penyusutan per periode. Dalam PSAK No 16 per September 2007, sepertinya memberikan dua pilihan kepada manajemen perusahaan dalam menilai PPE, yaitu dapat menggunakan revaluasi model atau historical cost. Saya juga sependapat dengan kendala dibidang regulasi pajak dimana revaluasi aset keatas akan dikenakan pajak final 10% dari nilai aset, apabila nilai asetnya terus meningkat maka terjadi kenaikkan pajak setiap tahunnya, kenaikkan pajak ini justru tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan alias tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Jika revaluasi model dapat diterapkan mutlak dalam PSAK No 16, pemerintah harus melakukan penyesuaian dalam regulasi pajaknya agar pengusaha merasa tidak dirugikan.
Untuk masalah harmonisasi terhadap IFRS memang dalam perjalannya terjadi banyak pro dan kontra. Akan tetapi disini kita harus memandang hal ini secara positif. Dimana tujuan standarisasi global hanya untuk memberikan kemudahan dalam dunia usaha dalam menjalankan bisnisnya. Dimana IFRS bertujuan untuk membuat kesamaan dalam prinsip dasar, prosedur, kebijakan, pencatatan, serta penilaian terhadap akuntansi di dalam suatu Negara khususnya dalam menyajikan laporan keuangan. Hal ini mengingat batas dan jarak tidak lagi menjadi kendala dalam bisnis. Dengan adanya standarisasi maka kemudahan dalam melakukan konsolidasi laporan keuangan dan proses investasi akan dapat teralisasi. Isu yang berkembang tentang adanya konspirasi besar dibalik harmonisasi ini dapat dijadikan suatu koreksi bahwa IFRS kelak dapat benar-benar mengakomodasi perkembangan iklim investasi yang saling menguntungkan.

http://akuntanamatir.wordpress.com/2009/08/01/menuju-penerapan-ifrs-antara-harmonisasi-dan-konspirasi/

Jumat, 02 Maret 2012

kenaikan BBM April 2012

Mungkin banyak yang mempertanyakan mengapa BBm dinaikan tarifnya oleh Pemerintah, atau banyak pihak yang menolak dinaikannya BBM, berikut ini saya kampirkan artikel yang aya dapat dari Okezone tentang kenaikan BBM


Kenaikan BBM Bersyarat


Setelah terkatung-katung beberapa lama, pemerintah tampaknya benar-benar akan menaikkan harga bahan bakar minyak/BBM (premium) pada April 2012 nanti.

Tahun lalu pemerintah sebetulnya sudah membentuk tim kajian dari tiga perguruan tinggi yang diketuai Anggito Abimanyu, yang salah satu hasil kajiannya berisi rekomendasi kenaikan harga premium dan sebaiknya dilakukan pada April 2011.

Entah dengan pertimbangan apa, hasil kajian itu tidak dipakai sampai hari ini. Setelah itu, pemerintah pada akhir 2011 dan awal 2012 malah mengeluarkan wacana yang kurang masuk akal, yakni membatasi konsumsi BBM dan melakukan konversi ke pemakaian gas.

Kebijakan ini dianggap kurang masuk akal karena membutuhkan pengawasan yang sangat ketat (untuk kebijakan penghematan) dan persiapan yang panjang/matang (untuk konversi gas). Setelah kritik bertubi-tubi diteriakkan berbagai pihak, akhirnya pemerintah mengeliminasi dua wacana tersebut.

APBN dan Biaya Birokrasi

Diskursus kenaikan harga BBM ini sebetulnya sudah dimaklumi oleh sebagian besar masyarakat. Mereka mafhum atas dua situasi yang dialami Indonesia: cadangan minyak yang menipis (sehingga kita telah lama menjadi importir) dan harga minyak internasional yang merosot. Mayoritas rakyat juga paham bahwa subsidi minyak sebagian besar secara langsung dinikmati oleh golongan berpendapatan menengah atas.

Bahkan, jika dibandingkan dengan masa lalu, sekarang terdapat fenomena yang jarang ditemui: parlemen/DPR mendorong agar pemerintah menaikkan harga BBM. Ini jelas hal yang menarik, sebab sejak dulu parlemen paling kritis terhadap rencana kenaikan harga Kenaikan BBM Bersyarat
BBM.

Memang sampai kini masih ada beberapa anggota parlemen/partai politik yang menolak rencana tersebut, tapi jumlahnya tidak signifikan sehingga hampir pasti kebijakan kenaikan BBM disetujui parlemen. Hal ini tentu merupakan kemewahan situasi yang dimiliki pemerintah saat ini. Sungguh pun begitu, terdapat dua kenyataan yang perlu dipertimbangkan pemerintah secara masak.

Pertama, pemakluman rakyat terhadap rencana kenaikan BBM berdiri di atas realitas pemerintah yang gagal memberikan hak hidup layak bagi warganya. Contoh yang paling kasatmata adalah buruknya infrastruktur dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Di luar Jawa gampang ditemui sarana jalan dalam kondisi rusak berat sehingga mengganggu pergerakan kegiatan ekonomi, termasuk distribusi komoditas pangan.

Bahkan tidak perlu jauh-jauh, di Provinsi Banten anak SD harus menyeberangi sungai, melewati hutan, dan melintasi kubang bekas air hujan untuk bisa menjangkau sekolah akibat tidak ada jembatan dan jalan. Tiap tahun diberitakan pengangguran terbuka turun, tapi sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor informal (sekira 65 persen). Mereka dibiarkan mencari penghidupan sendiri akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja formal yang laik.

Kedua, salah satu alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah demi menyelamatkan fiskal. Argumennya, tidak mungkin APBN diminta menomboki subsidi minyak sampai Rp200 triliun, padahal itu hanya dinikmati golongan masyarakat kaya. Sampai titik ini, alasan itu bisa dicerna dan diterima dengan baik. Masalahnya, jika dibaca keseluruhan anggaran fiskal pemerintah, terdapat dua fakta mencemaskan berikut ini.

Pertama, sekira 40 persen belanja APBN habis untuk belanja pegawai dan barang. Pertumbuhan untuk kedua pos pengeluaran itu rata-rata sangat fantastis, menembus 22,5 persen setiap tahunnya (padahal pertumbuhan total belanja negara hanya di kisaran 14 persen). Intinya, sebagian besar anggaran habis untuk biaya birokrasi, bukan pembangunan/pelayanan masyarakat.

Kedua, kebocoran APBN tidak mengalami perbaikan sampai kini. Kasus-kasus korupsi yang terungkap secara menunjukkan betapa APBN menjadi instrumen pemupuk kekayaan penyelenggara negara.

Menolak Cek Kosong

Di luar hal di atas, pemerintah mesti berjibaku merumuskan kebijakan kompensasi yang lebih kredibel dibandingkan dengan dana kompensasi seperti yang diterapkan selama ini. Pemerintah punya pengalaman kenaikan harga minyak pada 2005 lalu di mana dana kompensasi yang diberikan (melalui skema Bantuan Langsung Tunai/BLT) ternyata tidak mampu menurunkan jumlah penduduk miskin seperti yang dianalisis lembaga kajian ekonomi terkemuka di Indonesia.

Alih-alih menurunkan jumlah orang miskin, kenaikan harga minyak pada 2005 lalu justru meningkatkan jumlah orang miskin sekira 3,5 juta jiwa. Hal itu terjadi karena pemerintah terlalu percaya dengan statistik bahwa kenaikan harga minyak sekian ribu rupiah hanya akan meningkatkan inflasi sekian persen. Faktanya, inflasi yang terjadi bisa dua sampai tiga kali lipat dari yang dikalkulasi.

Pola ini hampir pasti akan terjadi sekarang, sebab pergerakan ekonomi secara keseluruhan masih sama. Fakta lain yang tidak bisa disembunyikan adalah ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam/SDA, termasuk minyak. Rakyat tidak bodoh untuk mengerti bahwa SDA itu dikuras dan dirampok oleh segelintir pelaku ekonomi, baik asing maupun domestik, dengan sistem bagi hasil yang sangat tidak adil.

Khusus minyak dan gas, sekira 70 persen eksplorasi ladang minyak dan gas dilakukan oleh korporasi asing dalam bingkai praktik kontrak yang tidak adil. Pola yang sama terjadi pada SDA lainnya seperti batu bara, emas, perak, tembaga.

Kenyataan ini tentu mengusik rasa keadilan yang terpatri di dada rakyat. Tidak mungkin mereka diminta maklum dengan kenaikan harga minyak, sementara mereka tahu dengan pasti adanya praktik pengisapan SDA yang sedemikian masif oleh pelaku asing dan para kompradornya.

Jadi, tulisan ini secara pragmatis memberi pemakluman terhadap pemerintah untuk menaikkan harga minyak, tapi tentu tidak dengan cek kosong. Paling penting, pemerintah mesti menyiapkan skemaKenaikan BBM Bersyarat
kompensasi yang lebih matang sehingga bisa menyelamatkan kehidupan kaum miskin. Selanjutnya, infrastruktur dan lapangan kerja harus didesain secara layak sehingga rakyat dapat menjalani hidup secara bermartabat.

Berikutnya, APBN tidak boleh dibiarkan dipakai untuk mengongkosi birokrasi dan sumber korupsi. Anggaran negara harus difungsikan sebagai instrumen pembangunan dan pelayanan publik yang bersih dari praktik koruptif. Terakhir, praktik perampokan SDA harus dihentikan dan digunakan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat.

Jika ini semua dilakukan, rakyat dengan besar hati akan dapat menerima kenyataan bahwa harga minyak harus naik karena situasi yang pelik seperti sekarang.

AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Direktur Eksekutif Indef
(Koran SI/Koran SI/ade)

Minggu, 08 Januari 2012

kasus pelanggaran etiks profesi akuntannsi

KASUS
1.    Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang diduga menyuap pajak.
September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York.                
Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan.

PEMBAHASAN:  Pada kasus ini sama seperti kasus KAP lainnya yag lebih memihak kepada kliennya, ini berarti kurangnya indepedensi dari akuntan publik tersebut. Sebagai akuntan publik harusnya mempunyai independensi yang tinggi sehingga bis aditerimadan hasilnya bisa dipercaya oleh masyarakatluas. prinsip- prinsip yan dilanggar yaitu antara lain prinsip tentang integritas. Akuntan yang telah berusaha menyuap untuk kepentingan klien seperti pada kasus di atas dapat dikatakan tidak jujur dan tidak adil dalam melaksanakan tugasnya.
        Selain prinsip tersebut, akuntan juga telah melanggar prinsip objektif hingga ia bersedia melaukan kecurangan. Di sini terihat bahwa ia telah berat sebelah dalam memenuhi kewajiban profesionalnya.
2.    Kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya.
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997.
Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.          
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.                    
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi.      
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,” tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi akuntan.

PEMBAHASAN: Dalam kasus tersebut, akuntan yang bersangkutan banyak melanggar kode etik profesi akuntan. Kode etik pertama yang dilanggar yaitu prinsip pertama tentang tanggung jawab profesi. Prinsip ini mengandung makna bahwa akuntan sebagai pemberi jasa professional memiliki tanggung jawab kepada semua pemakai jasa mereka termasuk masyarakat dan juga pemegang saham. Dengan menerbitkan laporan palsu, maka akuntan telah menyalahi kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada mereka selaku orang yang dianggap dapat  dipercaya dalam penyajian laporan keuangan.
Kode etik kedua yang dilanggar yaitu kepentingan public dan objektivitas. Para akuntan dianggap telah menyesatkan public dengan penyajian laporan keuangan yang direkayasa dan mereka dianggap tidak objective dalam menjalankan tugas. Dalam hal ini, mereka telah bertindak berat sebelah yaitu mengutamakan kepentingan klien dan mereka tidak dapat memberikan penilaian yang adil, tidak memihak, serta bebas dari benturan kepentingan pihak lain.

Etika Profesi Akuntansi Menurut IAI

KODE ETIK
IKATAN AKUNTAN INDONESIA
Pendahuluan
Pemberlakuan dan Komposisi
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya.
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan terse but terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
·         Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa
·         Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
·         Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
·         Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
(1) Prinsip Etika,
(2) Aturan Etika, dan
(3) Interpretasi Aturan Etika.
Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.
Kepatuhan
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.
Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PRINSIP ETlKA PROFESI
IKATAN AKUNTAN INDONESIA
Mukadimah
01. Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela. Dengan menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum clan peraturan.
02. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi.

Prinsip Pertama - Tanggung Jawab Prolesi
Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
01. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sarna dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.
Prinsip Kedua - Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
01.  Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung-jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepacla obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
02. Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan terus menerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat dipegang teguh. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi dan sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut.
03. Dalam mememuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini, anggota harus bertindak dengan penuh integritar, dengan suatu keyakinan bahwa apabila anggota memenuhi kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya.
04. Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, obyektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik. Anggota diharapkan untuk memberikan jasa berkualitas, mengenakan imbalan jasa yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan tingkat profesionalisme yang konsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.
05. Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
06. Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja. Dalam melaksanakan tugasnya seorang akuntan harus mengikuti standar profesi yang dititik-beratkan pada kepentingan publik, misalnya:
·         auditor independen membantu memelihara integritas dan efisiensi dari laporan keuangan yang disajikan kepada lembaga keuangan untuk mendukung pemberian pinjaman dan kepada pemegang saham untuk memperoleh modal;
·         eksekutif keuangan bekerja di berbagai bidang akuntansi manajemen dalam organisasi dan memberikan kontribusi terhadap efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya organisasi;
·         auditor intern memberikan keyakinan ten tang sistem pengendalian internal yang baik untuk meningkatkan keandalan informasi keuangan dari pemberi kerja kepada pihak luar.
·         ahli pajak membantu membangun kepercayaan dan efisiensi serta penerapan yang adil dari sistem pajak; dan
·         konsultan manajemen mempunyai tanggung-jawab terhadap kepentingan umum dalam membantu pembuatan keputusan manajemen yang baik.

Prinsip Ketiga – Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.

01.   Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
02.   Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
03.   Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa standar teknis dan etika.
04.   Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.

Prinsip Keempat – Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.

01.   Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.
02. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yang ingin masuk ke dalam profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
03.  Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan obyektivitas, pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktor berikut:
a.      Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan ini dapat mengganggu obyektivitasnya.
b.      Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi di mana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar untuk mengindentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota.
c.       Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari.
d.      Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terilbat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas.
e.      Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entertainment yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka ternoda.
Prinsip Kelima - Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh matifaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
01. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, derni kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik.
02. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seyogyanya tidak menggambarkan dirinya mernilki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan dalam semua tanggung-jawabnya, setiap anggota harus melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan meyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalisme tinggi seperti disyaratkan oleh Prinsip Etika. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase yang terpisah:
a.   Pencapaian Kompetensi Profesional. Pencapaian kompetensi profesional pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalaman kerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.
b.   Pemeliharaan Kompetensi Profesional.
·         Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui kornitmen untuk belajar dan melakukan peningkatan profesional secara berkesinambungan selama kehidupan profesional anggota.
·         Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti perkembangan profesi akuntansi, termasuk di antaranya pernyataan-pernyataan akuntansi, auditing dan peraturan lainnya, baik nasional maupun internasional yang relevan.
·         Anggota harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsisten dengan standar nasional dan internasional.
03. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung-jawab untuk menentukan kompetensi masing-masing atau menilai apakah pendidikan, pengalaman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk tanggung-jawab yang harus dipenuhinya.
04. Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima jasa dan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan tanggung-jawab untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-hati, sempurna dan mematuhi standar teknis dan etika yang berlaku.
05. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung-jawabnya.

Prinsip Keenam - Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati leerahasiaan informas iyang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya
01.  Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir.
02.   Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi.
03.  Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
04. Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi terse but untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
05.  Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia ten tang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Hal ini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi tanggung-jawab anggota berdasarkan standar profesional.
06. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
07.  Berikut ini adalah contoh hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan sejauh mana informasi rahasia dapat diungkapkan.
a. Apabila pengungkapan diizinkan. Jika persetujuan untuk mengungkapkan diberikan oleh penerima jasa, kepentingan semua pihak termasuk pihak ketiga yang kepentingannya dapat terpengaruh harus dipertimbangkan.
b. Pengungkapan diharuskan oleh hukum. Beberapa contoh di mana anggota diharuskan oleh hukum untuk mengungkapkan informasi rahasia adalah:
·                  untuk menghasilkan dokumen atau memberikan bukti dalam proses hukum; dan
·                  untuk mengungkapkan adanya pelanggaran hukum kepada publik.
c.   Ketika ada kewajiban atau hak profesional untuk mengungkapkan:
·                  untuk mematuhi standar teknis dan aturan etika; pengungkapan seperti itu tidak bertentangan dengan prinsip etika ini;
·                  untuk melindungi kepentingan profesional anggota dalam sidang pengadilan;
·                  untuk menaati peneleahan mutu (atau penelaahan sejawat) IAI atau badan profesionallainnya;.dan . untuk menanggapi permintaan atau investigasi oleh IAI atau badan pengatur.
Prinsip Ketujuh - Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi:
01.  Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi hams dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung-jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
Prinsip Kedelapan - Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.

01. Standar teknis dan standar profesional yang hams ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.


susumber : IAI